G36

Written by Razzaz on December 20, 2018

Kisah yang terselip di akhir maret ketika langit disesaki awan hitam, dan jalanan tampak gelap dan lengang, lalu hujan turun dengan derasnya. Alam mencoba menghapus noda darah yang tertumpah di negeri ini. Aku? aku menggigil, tak ada tegur sapa dari siapapun, tangan ini masih kokoh menggenggam G36, raga ini nyaris beku, dan kaki enggan untuk terus melangkah. Melangkah gontai dengan harap yang tak tentu. Namun tiba-tiba setitik cahaya itu muncul di kejauhan aku memperhatikannya dengan seksama, dengan tetap menyaksikan sebuah kemungkinan bahwa bisa jadi hanya khayalan belaka. Lalu aku ingin menjangkaunya. Meski tak tahu butuh berapa lama untuk kesana.

Aku membayangkan perlahan cahaya itu akan memudar, kabut menghilang, dan tampaklah sebuah kota, dengan gedung-gedung yang menjulang dan mewah, yang banyak jalan dan lorong-lorongnya. Lorongnya sesak, penuh tikus! Sebuah kota yang (seperti sebelumnya) selalu asing dan mengelak untuk dikenali. Yang selalu meminta untuk dibiarkan tetap menjadi rahasia, membangun lorong-lorong atau jalan yang tak tahu hendak membawaku kemana. Lalu angin berhembus pelan, alang-alang bergoyang dan beranda beraroma kasturi.

Aku adalah bayangan, yang bertarung, pembenci hiruk pikuk permukaan dan selebrasi tak berdasar, penghuni bawah yang abadi, berdasar bukan hanya partisipasi belaka. Begitulah yang terjadi di awal april dan perjumpaan siang malam kita angankan, memudar, luruh dan berserakan di jalan berlumpur.

Mestinya aku tetap di lengan jalan, diruang yang tersembunyi, yang tak mampu dijangkau matahari atau lampu, sebuah ruangan yang diterangi oleh jiwa-jiwa yang menginginkan kemerdekaan.