Flux

Written by Razzaz on January 21, 2021

Narasi panjang yang terikat pada hakikat hidup selalu berujung pada kebingungan. tidak heran sartre membuat novel yang judulnya Nausea. Tokoh di dalamnya berusaha memahami diri, lingkungan tempat berdiri, persepsi yang digambarkan otaknya, dan berujung pada kesadaran yang ia punya.

hierarki kebutuhan maslow sebenarnya memperlihatkan kebutuhan akan kontemplasi yang digambarkan Sartre. kebutuhan fisiologis tubuh, makan nasi salah satunya, terletak di tingkat paling dasar. Tingkat selanjutnya, esteem yang jika diterjemahkan menjadi penghargaan. makan di warteg dengan uang kerja sendiri jauh lebih baik daripada ditraktir. Tingkat akhir, aktualisasi diri tercermin pada bukan hanya makan di warteg tapi juga menanam pada sendiri sampai punya warteg sendiri. Maslow menempatkan satu tingkat lagi, Transendens, yang jika diartikan secara simple, jika kita mulai bertanya "Apa itu nasi?"

Pendidikan abad pertengahan tidak berubah dari eksklusivitas bangsawan. Hanya anak-anak raja dan bangsawan yang dapat membaca dan menulis. Guru beralih dari filsuf menjadi pendeta, sekolah beralih dari taman ke dinding-dinding blara. Dialektika Sokrates berubah menjadi dogma alam semester yang teratur, tetap, dan suci. Perubahan hanyalah flux, ide baru selayaknya diredam demi stabilitas dan kesucian kosmos. Dunia ide Plato dianggap olahraga mental yang tidak sepatutnya dianggap serius di dunia. Dan tebak siapa penyintas di era ini? lagi-lagi Aristoteles. ide bahwa semesta ini tetap tak berubah diterima baik oleh Gereja yang merupakan pemegang tampuk pendidikan jaman itu.

Dialektika Sokrates, dunia ide Plato dan imutabilitas alam semesta Aristoteles bersilang pendapat di Damaskus, berlanjut di Baghdad dan melebarkan sayapnya sampai Kordoba di Barat bahkan Khurasan di timur. Taman, dimana tiap individu dapat menumbuhkan idenya dan ketika tesis membentur antitesis berbaur menjadi sintesis, merebak di kota-kota tersebut.

Renaisans, kelahiran kembali membuka kembali gerbang taman yg hilang. Bibit-bibit ide dari Yunani kuno digali kembali. Sisa-sisa benih ide yg selamatk dari era kegelapan berkat kota2 Baghdad dan Kordoba serta Konstantinopel ditanam kembali. Taman kembali merebak, kali ini di kota-kota Italia. Benihnya tersebar jauh ke seluruh Eropa, dan bibit-bibit ide ini tumbuh menjadi pohon pemikiran Romantisme, luapan semangat dan Aufklarung, luapan pencerahan.

Jika buah pertama dari taman pendidikan era kelahiran kembali membuahkan dua revolusi, maka pada abad 19, buah yg jatuh dari ide revolusi menumbuhkan benih-benih baru. Dua orang yang terpisah jauh merumuskan ide baru tentang taman sebagai analogi pendidikan. Yg pertama John Dewey, Filsuf dan edukator dari Amerika Serikat.

Dan yang kedua adalah, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara.